Dosen Pengampu : DR. Hendra Jaya, MT
Mata Kuliah : Teori dan Strategi Pembelajaran
Kejuruan
Nama Mahasiswa : Sitti Nurbaya
Institusi : S2 PTK Program Pascasarjana UNM
A.
TEORI
PENDIDIKAN KEJURUAN
Sekolah Menengah Kejuruan adalah salah satu jenjang
pendidikan menengah dengan kekhususan mempersiapkan lulusannya untuk siap
bekerja. Pendidikan kejuruan mempunyai arti yang bervariasi namun dapat dilihat
suatu benang merahnya. Menurut Evans dalam Djojonegoro (1999) mendefinisikan
bahwa pendidikan kejuruan adalah bagian dari sistem pendidikan yang
mempersiapkan seseorang agar lebih mampu bekerja pada suatu kelompok pekerjaan
atau satu bidang pekerjaan daripada bidang-bidang pekerjaan lainnya. Dengan
pengertian bahwa setiap bidang studi adalah pendidikan kejuruan sepanjang
bidang studi tersebut dipelajari lebih mendalam dan kedalaman tersebut
dimaksudkan sebagai bekal memasuki dunia kerja.
Mengacu pada pada isi Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 3 mengenai tujuan pendidikan nasional
dan penjelasan pasal 15 yang menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan merupakan
pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja di
bidang tertentu.
Pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang mempersiapkan
peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu. Pengertian ini
mengandung pesan bahwa setiap institusi yang menyelenggarakan pendidikan
keJuruan harus berkomitmen menjadikan tamatannya mampu bekerja dalam bidang
tertentu (Depdikbud, 1995). Berdasarkan definisi di atas, maka sekolah menengah
kejuruan sebagai sub sistim pendidikan nasional seyogyanya mengutamakan
mempersiapkan peserta didiknya untuk mampu memilih karir, memasuki lapangan
kerja, berkompetisi, dan mengembangkan dirinya dengan sukses di lapangan kerja
yang cepat berubah dan berkembang.
B.
FUNGSI DAN TUJUAN PENDIDIKAN
KEJURUAN
1.
Fungsi
Pendidikan
kejuruan memiliki multi-fungsi yang kalau dilaksanakan dengan baik akan
berkontribusi besar terhadap pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Fungsi-fungsi dimaksud antara lain meliputi :
1) Sosialisasi,
yaitu transmisi nilai-nilai yang berlaku serta norma-normanya sebagai
konkrititasi dari nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai yang dimaksud adalah teori
ekonomi, solidaritas, religi, seni, dan jasa yang cocok dengan konteks
Indonesia.
2) Kontrol
Sosial, yaitu kontrol perilaku agar sesuai dengan nilai sosial beserta
norma-normanya, misalnya kerjasama, keteraturan, kebersihan, kedisiplinan,
kejujuran dan sebagainya.
3) Seleksi
dan alokasi, yaitu mempersiapkan, memilih dan menempatkan calon tenaga kerja
sesuai dengan tanda-tanda pasar kerja, yang berarti bahwa pendidikan
kejuruan harus berdasarkan ”demand-driven.”
4) Asimilasi
dan konservasi budaya, yaitu abosrbsi terhadap kelompok-kelompok lain dalam
masyarakat, serta memelihara kesatuan dan persatuan budaya.
5) Mempromosikan
perubahan demi perbaikan, yaitu pendidikan tidak sekedar berfungsi
mengajarkan apa yang ada, tetapi harus berfungsi sebagai ”pendorong
perubahan.”
Dapat
diringkas bahwa pendidikan kejuruan berfungsi sekaligus sebagai ”akulturasi”
(penyesuaian diri) dan ”enkulturasi” (pembawa perubahan). Karena itu,
pendidikan kejuruan tidak hanya adaptif terhadap perubahan, tetapi juga
harus antisipatif.
2.
Tujuan
UUSPN No.
20 tahun 2003 pasal 15, menyatakan pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk
menyiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Tujuan
tersebut dapat dijabarkan lagi oleh Dikmenjur (2003) menjadi tujuan umum dan
tujuan khusus, sebagai berikut :
Tujuan
umum, sebagai bagian dari sistem pendidikan menengah kejuruan SMK bertujuan :
1) Menyiapkan
peserta didik agar dapat menjalani kehidupan secara layak,
2) Meningkatkan
keimanan dan ketakwaan peserta didik,
3) Menyiapkan
peserta didik agar menjadi warga negara yang mandiri dan bertanggung jawab,
4) Menyiapkan
peserta didik agar memahami dan menghargai keanekaragaman budaya bangsa
indonesia,
5) Menyiapkan
peserta didik agar menerapkan dan memelihara hidup sehat, memiliki wawasan
lingkungan, pengetahuan dan seni.
Tujuan
khusus, SMK bertujuan :
1) Menyiapkan
peserta didik agar dapat bekerja, baik secara mandiri atau mengisi lapangan
pekerjaan yang ada di dunia usaha dan industri sebagai tenaga kerja tingkat
menengah, sesuai dengan bidang dan program keahlian yang diminati
2) Membekali
peserta didik agar mampu memilih karir, ulet dan gigih dalam berkompetensi dan
mampu mengembangkan sikap profesional dalam bidang keahlian yang diminati,
3) Membekali
peserta didik dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) agar mampu
mengembangkan diri sendiri melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi
Kompetensi
lulusan pendidikan kejuruan sebagai subsistem dari sistem pendidikan nasional
menurut Depdikbud (2001) adalah :
1) Penghasil
tamatan yang memiliki keterampilan dan penguasaan IPTEK dengan bidang dari
tingkat keahlian yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan,
2) Penghasil
tamatan yang memiliki kemampuan produktif, penghasil sendiri, mengubah status
tamatan dari status beban menjadi aset bangsa yang mandiri,
3) Penghasil
penggerak perkembangna industri Indonesia yang kompetitif menghadapi pasar
global
4) Penghasil
tamatan dan sikap mental yang kuat untuk dapat mengembangkan dirinya secara
berkelanjutan.
Dikmenjur
(2000) mengatakan bahwa hasil kerja pendidikan harus mampu menjadi pembeda dari
segi unjuk kerja, produktifitas, dan kualitas hasil kerja dibandingkan dengan
tenaga kerja tanpa pendidikan kejuruan. Jadi pendidikan kejuruan adalah suatu
lembaga yang melaksanakan proses pembelajaran keahlian tertentu beserta
evaluasi berbasis kompetensi, yang mempersiapkan siswa menjadi tenaga kerja
setingkat teknisi.
C.
LANDASAN PENDIDIKAN KEJURUAN
1). Landasan
Yuridis
Landasan yuridis pendidikan Indonesia adalah
seperangkat konsep peraturan perundang-undangan yang menjadi titik tolak
sistem pendidikan Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar 1945.
UUD 1945 mengamanatkan kepada pemerintah melalui usaha penyelenggaraan
sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan Undang-Undang.
UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003
pasal 15, menjelaskan bahwa SMK merupakan “pendidikan menengah yang
mempersiapkan peserta didik terutama dalam bidang pekerjaan tertentu”. Dan
Pasal 38 yang menyatakan bahwa kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan
dasar dan menengah ditetapkan pemerintah melalui BSNP. Kepmendikbud No.
323/U/1997 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Sistem Ganda di SMK. PP No. 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Permendiknas No. 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi. Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Kelulusan. Permendiknas No. 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Permendiknas
No. 22 dan No. 23 tentang Standar Isi dan Standar Kelulusan Ketentuan-ketentuan
lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan di SMK.
2). Landasan
Filosofis
Dalam pendidikan kejuruan ada dua aliran filsafat
yang sesuai dengan keberadaanya, yaitu eksistensialisme dan esensialisme.
Eksistensialisme berpandangan bahwa pendidikan kejuruan harus mengembangkan
eksistensi manusia untuk bertahan hidup, bukan merampasnya. Sedangkan
esensialisme berpandangan bahwa pendidikan kejuruan harus mengaitkan dirinya
dengan sistem-sistem yang lain seperti ekonomi, politik, sosial, ketenaga
kerjaan serta religi dan moral.
Filosofi memandang pendidikan kejuruan sebagai pihak
yang harus bertanggungjawab atas penyiapan orang untuk bekerja atau mandiri,
maka menuntut adanya jenis pendidikan yang dapat menyediakan berbagai
alternatif pilihan itu, dan untuk hal tersebut yang paling tepat adalah
pendidikan kejuruan itu sendiri. Oemar Hamalik (1990) dalam http://ismailmajid.wordpress.com/ 2012/10/08/landasan-filosofi-dan-yuridis-pendidikan-teknologi-kejuruan/ secara tegas memberikan gambaran tentang
falsafah pendidikan kejuruan dapat dirangkum ke dalam enam hal yaitu:
a) Pekerjaan
yang dipilih individu harus berdasarkan pada orientasi individu itu sendiri,
misalnya bakat, minat, kemampuan,
dan sebagainya.
b) Beberapa
pekerjaan yang ditawarkan meliputi semua aspek kehidupan.
c) Setiap
individu harus mendapatkan kesepatan untuk memilih jenis pekerjaan yang cocok
dengan orientasi dan kesempatan kerja yang sama.
d) Individu
perlu mendapat dorongan membangun masyarakartnya, berdasarkan pengetahuan,
skill, dan kesempatan kerja yang ada.
e) Sumber-sumber
pendidikan harus dapat mengembangkan sumber daya manusia, menjadi individu yang
mampu membantu inidividu lainnya, sebagai pemimpin dan pembangun.
f) Alokasi
sumber-sumber harus merefleksi kebutuhan manusia.
Charles Prosser dalam Vocational Education in
Democracy (1949) yang dikutip oleh William G. Camp dan John H. Hillison (1984,
15-16) dalam
http://ismailmajid.wordpress.com/2012/10/08/landasan-filosofi-dan-yuridis-pendidikan-teknologi-kejuruan/ memberikan 16 butir dalil sebagai
falsafah pendidikan kejuruan yaitu:
a) Pendidikan
kejuruan akan efisien apabila disediakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi
nyata dimana lulusan akan bekerja.
b) Latihan
kejuruan akan efektif apabila diberikan tugas atau program seusai dengan apa
yang dikerjakan kelak. Demikian pula fasilitas atau peralatan beserta proses
kerja dan operasionalnya dibuat sama dengan kondisi nyata nantinya.
c) Pendidikan
kejuruan akan efektif bilmana latihan dan tugas yang diberikan secara langsung
dan spesifik (dalam arti mengerjakan benda kerja sesungguhnya, bukan sekedar
tiruan).
d) Pendidikan
kejuruan akan efektif bilamana dalam latihan kerja atau dalam pengerjaan tugas
sudah dibiasakan pada kondisi nyata nantinya.
e) Pendidikan
kejuran akan efektif bilamana program-program yang disediakan adalah banyak dan
bervariasi meliputi semua profesi serta mampu dimanfaatkan atau ditempuh oleh
peserta didik.
f) Latihan
kejuruan akan efektif apabila diberikan secara berulang kali hingga diperoleh
penguasaan yang memadai bagi peserta didik.
g) Pendidikan
kejuruan akan efektif bila para guru dan instrukturnya berpengalaman dan mampu
mentransfer kepada peserta didik.
h) Pendidikan
kejuruan akan efektif bilamana mampu memberikan bekal kemampuan minimal yang
dibutuhkan dunia kerja (sebagai standar minimal profesi), sehingga mudah
adaptif dan mudah pengembangannya.
i)
Pendidikan kejuruan akan efektif apabila
memperhatikan kondisi pasar kerja.
j)
Proses pemantapan belajar dan latihan
peserta didik dalam pendidikan kejuruan akan efektif apabila diberikan secara
proporsional.
k) Sumber
data yang dipergunakan untuk menentukan program pendidikan didasarkan atas
pengalaman nyata pekerjaan di lapangan.
l)
Pendidikan kejuruan memberikan program tertentu yang mendasar
sebagai dasar kejuruannya serta program lain sebagai pengayaan atau
pengembangannnya.
m) Pendidikan
kejuruan akan efisien apabila sebagai lembaga pendidikan yang menyiapkan SDM
untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja tertentu dan dalam waktu tertentu.
n) Pendidikan
kejuruan dapat dirasakan manfaatnya secara sosial kemasyarakatan termasuk
memperhatikan hubungan kemanusiaan dan hubungan dengan masyarakat luar dunia
pendidikan.
o) Administrasi
pendidikan kejuruan akan efisien apabila bersifat fleksibel dan tidak bersifat
kaku.
Walaupun pendidikan kejuruan telah diusahakan dengan
biaya investasi semaksimal mungkin, namun
apabila sampai dalam batas minimal tersebut tidak efektif, maka lebih baik
penyelenggaraan pendidikan kejuruan dibatalkan.
Berdasarkan falsafah pendidikan kejuruan yang
diuraikan di atas, khususnya dari Charles Prosser dapat diasumsikan bahwa 16
butir falsafah tersebut juga sekaligus kriteria dasar yang sagat esensial dalam
penyelenggaraan pendidikan kejuruan. Maksudnya adalah pendidikan kejuruan akan
dikatakan dengan klasifikasi baik apabila mampu memenuhi 16 kriteria falsafah
pendidikan kejuruan tersebut.
D. TEORI BELAJAR
Teori belajar dan pembelajaran sangatlah penting dalam
pelaksanaan pendidikan. Teori belajar itu sendiri adalah sekumpulan dalil yang
berkaitan secara sistematis yang menetapkan kaitan sebab akibat diantara
variabel yang saling bergantung agar terjadi suatu perubahan tingkah laku yang
relatif permanen dalam jangka waktu yang cukup lama sebagai hasil dari latihan
atau pengalaman. Kriteria teori yang ideal yaitu formal, akurat, konsisten
secara internal, dan memiliki cakupan yang luas mengenai pembelajaran dan
motivasi.
Teori ideal ini mengandung variabel-variabel perantara yang
dinyatakan secara eksplisit. Variabel-variabelnya jauh lebih kognitif
dibandingkan pada teori-teori terdahulu. Namun teori tersebut juga terkait
dengan topik perkembangan yang menjelaskan bagaimana manusia berfungsi seperti
apa yang dilakukan. Secara umum teori belajar dikelompokkan menjadi empat
aliran, yaitu teori behavioristik, teori kognitif, teori konstruktivisme, dan
teori humanisme.
Setiap teori pembelajaran mempunyai kelebihan dan kekurangan
yang berbeda-beda.Masing-masing teori menekankan aspek tertentu dalam proses
pembelajaran yang perlu kita pertimbangkan. Namun, pada dasarnya setiap teori
pembelajaran memiliki tujuan yang sama yaitu mewujudkan pendidikan yang mampu mencetak
peserta didik agar dapat bersaing dan terus mengikuti perkembangan zaman. Dalam
menerapkan teori belajar, terkadang guru menggunakan lebih dari satu teori
belajar dalam proses pembelajaran.
Walaupun memang pada dasarnya tidak ada teori belajar yang terbaik.
Tinggal bagaimana kita bisa menentukan teori mana yang cocok dan bisa
melaksanakan pembelajaran dengan baik sesuai dengan keadaan peserta didik.
Pendidikan, bukanlah melulu penerapan teori-teori belajar. Namun, ketepatan
memilih metode dan pendekatan sangat penting dalam pendidikan.
Oleh karena itu, guru harus menggunakan metode dan
pendekatan pembelajaran yang tidak hanya menarik, tetapi juga memberikan ruang
bagi peserta didik untuk berkreatifitas dan terlibat secara aktif sepanjang
proses pembelajaran. Sehingga aspek-aspek yang ada dalam diri peserta didik
dapat dikembangkan secara optimal.
Tidak dapat dipungkiri
teori-teori belajar klasik ikut berperan terhadap lahirnya teori belajar
kejuruan. Teori-teori belajar klasik tersebut sebagai dasar perkembangan teori
belajar kejuruan. Teori belajar klasik yang umum digunakan dalam perkembangan
pembelajaran adalah teori belajar behavioristik, kognitif, dan konstruktivis.
Beberapa ulasan teori belajar klasik sebagai berikut:
1) Teori
Belajar Behavioristik
Pandangan teori belajar behavioristik bahwa
perubahan tingkah laku seseorang karena ada rangsangan eksternal. Dalam belajar
terjadi pengkondisian dan pemberian stimulus sebagai sebagai instrumental
conditioning. Peserta didik dianggap sebagai seorang yang pasif, merespon
bila ada stimulus. Peserta didik diibaratkan kertas putih dan dapat dibentuk
melalui penguatan positif maupun negatif. Konsep dari teori belajar
behavioristik adalah respon perubahan perilaku yang teramati, terukur, dan
ternilai konkrit karena stimulus dari luar. Kunci pokok dan prinsip
dasar stimulus dalam belajar adalah pengkondisian lingkungan belajar (Putu
Sudira: 2016: 161).
Menurut Shcunk (2012: 114) teori-teori belajar
behavioristik dari Thorndike, Pavlov, dan Guthrie penting bagi sejarah.
Meskipun teori ini berbeda, tetapi memiliki kesamaan pandangan bahwa belajar
sebagai proses pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Thorndike
percaya bahwa respon terhadap rangsangan diperkuat jika diikuti oleh
konsekuensi yang memuaskan. Eksperimental Pavlov menunjukkan bagaimana stimulus
bisa dikondisikan untuk memperoleh respon dengan yang dipasangkan dengan
rangsangan lainnya. Hipotesis Guthrie bahwa hubungan berdekatan antara stimulus
dan respon menentukan pasangannya.
Pavlov dalam teorinya mengatakan stimulus alami
dapat digantikan dengan stimulus buatan sehingga bisa diulang-ulang. Skinner
mengajukan teori bahwa hadiah dan hukuman merupakan faktor penting dalam
belajar. Albert Bandura dengan teori pembiasaan merupakan perbuatan interaksi
sosial dengan mengamati dan menirukan (Putu Sudira, 2016: 162).
Behavioris melihat proses belajar sebagai perubahan
perilaku, dan akan mengatur lingkungan untuk memperoleh respon yang diinginkan
melalui perangkat seperti tujuan perilaku, pembelajaran berbasis kompetensi,
dan pengembangan keterampilan dan pelatihan. Pendekatan pendidikan seperti
pengukuran berbasis kurikulum, dan pembelajaran langsung muncul dari
model ini.
Pada konsep belajar behaviorism ini lingkungan
sangat besar perannya untuk membentuk anak. Bila lingkungan memberikan stimulus
positif maka anak akan berperilaku positif. Teori ini dapat diterapkan dalam
pendidikan kejuruan yakni dalam pembelajaran berbasis kompetensi dan
pembelajaran langsung. Sebelum melakukan suatu pekerjaan anak melihat apa yang
dicontohkan oleh guru, kemudian mencoba dengan meniru perilaku guru dan
dilakukan berulang-ulang.
Menurut Putu Sudira (2016:163) teori belajar
behavioristik relevan digunakan dalam belajar skill motorik pada level
pemula. Pembelajar kejuruan pemula sebelum berlatih suatu skill
motorik memerlukan interaksi sosial dengan mengamati kemudian meniru sikap dan
cara kerja expert atau guru (teori Bandura), mempraktikkan secara langsung
(teori Skinner), diulang-ulang hingga menguasai (teori Pavlov), mempersiapkan
perangkat latihan dan mental peserta didik sebelum latihan (teori
Thorndike).Teori belajar behavioristik bermanfaat pula untuk menghadapi
pembelajar kejuruan yang pasif. Guru mendesain pembelajaran sedemikian rupa
sebagai bentuk stimulus agar mendapat respon pembelajar. Di Indonesia umumnya
siswa SMK masih cenderung pasif dalam proses pembelajaran apalagi siswa pemula
atau kelas X.
2) Teori
Belajar Kognitif
Teori kognitif menekankan akuisisi pengetahuan
internal dan struktur mental, lebih dekat ke akhir rasionalis dari kontinum
epistemologi (Bower & Hilgard, 1981). Belajar disamakan dengan perubahan
diskrit antara ungkapan pengetahuan bukan dengan perubahan probabilitas respon.
Teori kognitif fokus pada konseptualisasi proses belajar siswa dan mengatasi
masalah bagaimana informasi yang diterima, terorganisir, disimpan, dan diambil
oleh pikiran. Belajar yang bersangkutan tidak begitu banyak dengan peserta
didik apa yang dilakukan, tetapi dengan apa yang mereka ketahui dan bagaimana
mereka datang untuk memperolehnya (Jonassen, 1991b). Akuisisi pengetahuan
digambarkan sebagai aktivitas mental yang memerlukan coding internal dan
penataan oleh pembelajar. Pembelajar dipandang sebagai peserta sangat aktif
dalam proses pembelajaran (Ertmer, Peggy A. and Newby., Timothy J., 2013).
Kognitivisme fokus pada aktivitas mental dan
pikiran, memproses informasi, memasukkan memory, memecahkan masalah, menalar.
Pengetahuan merupakan konstruksi mental dalam bentuk skema, simbol, bentuk,
rumus, teori, warna, dan lain-lain. Teori pendukung kognitivisme antara
lain: 1) component display theory dari Merrill; 2) teori elaborasi
dari Reigeluth; 3) konstruktivisme kognitif dari Gagne, Bringgs, dan Bruner,;
4) structural learning dari Scandura (Putu Sudira, 2016: 164).
Menurut teori kognitif memori diberikan peran
penting dalam proses pembelajaran. Hasil belajar ketika informasi disimpan
dalam memori dalam cara yang bermakna terorganisir. Guru sebagai desainer
bertanggung jawab untuk membantu peserta didik dalam mengorganisir informasi
dalam beberapa cara optimal. Guru menggunakan teknik seperti penyelenggara
depan, analogi, hubungan hirarkis, dan matriks untuk membantu peserta didik
menghubungkan informasi baru untuk pengetahuan sebelumnya. Melupakan adalah
ketidakmampuan untuk mengambil informasi dari memori karena gangguan,
kehilangan memori, atau hilang atau isyarat yang tidak memadai diperlukan untuk
mengakses informasi (Ertmer, Peggy A. and Newby., Timothy J., 2013).
Teori kognitif dalam pendidikan kejuruan digunakan
dalam pembelajaran ketrampilan berpikir (thinking skills). Selain skill
motorik, skill kognitif diperlukan dalam pendidikan kejuruan
abad 21 untuk membekali lulusan mudah beradaptasi dalam dunia kerja yang
mengalami perubahan sangat cepat dibidang teknologi. Putu Sudira (2016: 166)
menyatakan High Order Thinking Skill (HOTS) semakin dibutuhkan dalam
pembelajaran abad 21. Critical thinking, creativity, communication,
collaboration, penggunaan multimedia, pemrosesan informasi merupakan
variabel penting belajar abad 21 sebagai dasar mengkonstruksi pengetahuan.
Pembelajaran TVET membutuhkan keaktifan dalam interakaksi sosial, membangun
ikon, menggunakan simbol-simbol atau bahasa dan didisplaykan menjadi rumus,
model, konsep, algoritma program, dan sebagainya. Belajar dengan memecahkan
masalah dari yang sederhana ke yang komplek. Dalam pengembangan kompetensi TVET
diperlukan konsep belajar hand-on, mind on, dan heart on.
3) Teori
Belajar Konstruktivis
Shcunk (2012: 75) menyatakan “Constructivism is
a psychological and philosophical perspective contending that individuals form
or construct much of what they learn and understand (Bruning et al.,
2004). A major influence on the rise of constructivism has been
theory and research in human development, especially the theories of Piaget and
Vygotsky.” Konstruktivisme adalah perspektif psikologis dan
filosofis menyatakan bahwa individu membentuk atau membangun pengetahuan dari
apa yang dipelajari dan dipahami. Teori dari Piaget and Vygotsky
berpengaruh besar pada peningkatan constructivism melalui teori dan
riset pengembangan manusia. Menurut Wina Sanjaya (2010: 246) belajar
menurut teori kontruktivisme merupakan proses mengkonstruksi pengetahuan
melalui pengalaman. Pengetahuan merupakan hasil dari proses mengkontruksi yang
dilakukan individu.
Teori belajar konstruktivistik menekankan bahwa
belajar adalah proses aktif mengkonstruksi pengetahuan. Peserta didik berperan
sebagai konstruktor pengetahuan. Berlangsungnya proses mental mengaitkan informasi
baru dengan pengetahuan yang ada sebelumnya merupakan proses mengkonstruksi
pengetahuan. Belajar merupakan proses aktif mengkonstruksi pengetahuan, ide
baru dengan pengalaman sebelumnya (Putu Sudira: 2016: 166).
Konsekuensi dari penggunaan teori konstruktivis
dalam pembelajaran adalah bagaimana sekolah dan guru menciptakan
lingkungan konstruktivis yang kaya pengalaman. Pembelajaran konstruktivis
berbeda dengan pembelajaran tradisional. Dalam pembelajaran konstruktivis,
kurikulum berfokus pada konsep. Kegiatan pembelajaran biasanya memanfaatkan
data dan bahan manipulatif sebagai sumber utama. Guru berinteraksi dengan siswa
dengan bertanya berdasarkan sudut pandang mereka. Siswa sering bekerja dalam
kelompok. Penilaiannya menggunakan penilaian otentik, observasi dan portofolio.
Kuncinya ada pada struktur lingkungan belajar, sehingga siswa dapat secara
efektif membangun pengetahuan dan keterampilan baru (Schunk, 2012: 261).
Berdasarkan teori konstruktivis tersebut banyak
model pembelajaran berpikir tingkat tinggi yang diciptakan. Sekolah kejuruan
relevan menerapkan teori ini untuk menjawab tantangan dunia kerja abad 21 yang
memerlukan tenaga kerja yang memiliki skill teknik sekaligus kemampuan
beradaptasi dengan pengetahuan baru. Pembelajaran berlandasan teori
konstruktivis menekankan pada kooperatif dan kolaboratif dengan pembentukkan
kelompok kerja siswa. Hal ini sesuai dengan kebutuhan skill abad 21
yang memerlukan kemampuan kerja dalam tim. Teori konstruktivis
menginspirasi para ahli pembelajaran untuk membuat model-model pembelajaran
baru berbasis konstruktivis.
Teori-teori belajar TVET berkembang pesat seiring
dengan kebutuhan dunia pada tenaga kerja yang siap pakai. Pendidikan kejuruan
bersifat dinamis sehingga teori belajar kontemporer yang banyak mewarnai
pendidikan kejuruan. Konsep belajar kontemporer dalam TVET antara lain belajar
berbasis kehidupan (life based learning), dan belajar sepanjang
hayat (long life learning). TVET berperan dalam pendidikan untuk semua
(education for all) baik pendidikan formal maupun non formal dari
semua tingkat usia. Putu Sudira (2016: 172) menyatakan belajar berbasis
kehidupan (life based learning) dan belajar sepanjang hayat (long
life learning) untuk bertujuan untuk memperoleh ketrampilan menjalani
hidup (life skill). Life skill merupakan keseluruhan skill
yang dibutuhkan untuk menjalani kehidupan sepanjang waktu. Konsep belajar
kontemporer dalam TVET adalah belajar yang terkonstruksi secara sosial,
situasional, kondisional, berpartisipasi langsung dalam masyarakat, belajar
sepanjang hayat, dan belajar berbasis kehidupan. Pembelajaran TVET selalu
kontekstual sesuai dengan situasi terkini dan mengedepankan pendekatan
partnership serta interaksi sosial.
Teori belajar kontemporer dalam TVET antara lain: 1)
life based learning, 2) belajar berpartner sosial (social
partnership), 3) belajar orang dewasa (mature adult learning), 4)
pengembangan kompetensi sebagai proses kolektif (competence as collective
process), 5) belajar berbasis kerja (work based learning, 6)
belajar di tempat kerja (workplace learning), 7) belajar langsung
dalam kehidupan kerja (learning in working life), 8) long life
learning. Beberapa teori belajar
kontemporer untuk pendidikan kejuruan diulas dibagian berikut;
a)
Life Based Learning
Masa Industri berbasis pengetahuan (Knowledge-based
Industry) membutuhkan pekerja berpengetahuan (knowledge workers)
yang siap menerima tantangan pekerjaan dengan kondisi lingkungan yang dinamis
mengikuti perubahan dan arus tekanan yang semakin kontradiktif. Seorang pekerja
yang berpengetahuan ditandai dengan gairah belajar yang tinggi dan pengembangan
kapabilitas diri secara berkelanjutan.
Life-based
learning tidak terbatas hanya pada belajar bekerja, belajar
mendapatkan pekerjaan, apalagi hanya belajar di tempat kerja. Staron (2011)
menyatakan “Life-based learning proposes that learning for work is not
restricted to learning at work”. Pernyataan Staron inipun tidak cukup
untuk kondisi Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia belajar untuk bekerja (learning
for work) merupakan sebagian dari kebutuhan hidup. Masih banyak kebutuhan
lain yang harus dipenuhi seperti kebutuhan bersosialisasi, beribadah,
berbangsa, dan bernegara. Life-based learning adalah proses
pemerolehan pengetahuan dan skills memahami hakekat kehidupan,
terampil memecahkan masalah-masalah kehidupan, menjalani kehidupan secara
seimbang dan harmonis.
Life-based
learning mengetengahkan konsep bahwa belajar dari kehidupan
adalah belajar yang sesungguhnya. Visi life-based learning dalam TVET
adalah terbangunnya keyakinan dan budaya bekerja, belajar untuk saling membantu
diantara peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam pengembangan
potensi diri mereka masing-masing agar berkembang kapabilitasnya secara
terus-menerus dalam bidang kejuruannya (Putu Sudira, 2016: 174-176).
Karakteristik kunci life based learning
menurut Staron (2011), yaitu: 1) Menekankan pengembangan kapasitas. 2)
Mempromosikan pembelajaran berorientasi pada kekuatan. 3) Mengenali berbagai
sumber belajar. 4) Keseimbangan antara integritas diri dan kegunaan. 5)
Tanggungjawab belajar ada pada setiap diri individu. 6) Peran organisasi
bergeser dari penyedia program pembelajaran ke pencipta lingkungan terbaik. 7)
Pengakuan bahwa kontradiksi adalah kekuatan. 8) Berinvestasi dalam pengembangan
seluruh orang. 9) Mengakui disposisi manusia sebagai sesuatu yang kritis. 10)
Menghargai bahwa perubahan secara kualitatif berbeda.
Life-based
learning merupakan pengembangan spiral dari expert
centred learning dan work-based learning. Expert centred
learning adalah pembelajaran berpusat kepada pakar, berbasis kelas, proses
adopsi dan implementasi. Work-based learning adalah pembelajaran yang
terpasilitasi berbasis projek. Life-based learning mengetengahkan
pembelajaran self directed, continuous enquiry, adaptability and
sustainability. Life based Learning dalam TVET merupakan pendekatan
pembelajaran kontekstual-integratif-holistik pengembangan kapabilitas (baca:
kemampuan dan kemauan hidup) diri sesorang secara berkelanjutan. Life based
Learning merupakan kunci perubahan dan pengembangan ekologi baru
pembelajaran TVET (Putu Sudira, 2016: 181).
b)
Teori Belajar Transformatif (Transformative
Learning Theory)
Teori belajar transformatif muncul sebagai respon
atas perubahan tanpa henti diberbagai aspek kehidupan dan life long
learning. Teori belajar transformatif muncul sebagai jawaban atas
masalah-masalah sosial dalam TVET (Putu Sudira, 2016: 183). Konsep belajar
trasformatif pertama kali di kembangkan oleh Jack Mezirow. Belajar trasformatif
didefinisikan sebagai belajar yang mempengaruhi perubahan jangka panjang pada
diri pembelajar di bandingkan dengan jenis belajar yang lain. Pengalaman
belajar yang menghasilkan dampak yang bermakna, atau perubahan paradigma yang
mempengaruhi pengalaman berikutnya bagi pembelajar.
Teori belajar transformatif merupakan teori belajar
dilevel yang dalam meliputi kreativitas, berpikir kritis, kepedulian diri
secara emosional, dan perubahan cara pandang seseorang untuk maju dan mengarah
pada perubahan yang bersifat positif. Belajar trasnformatif adalah “a
psycho educational process” atau proses pendidikan yang memberi bantuan
kepada seseorang atau kelompok orang untuk memahami dan mengatasi tantangan
distorsi pola pikir mereka tentang dkehidupan dunia. Keberadaan dunia saat ini
dan perubahan yang akan datang dijadikan evaluasi dan kemudian
ditransformasikan dalam pola pikir baru (Putu Sudira. 2016: 184)
Mezirow mengembangkan konsep perspektif makna, yakni
pandangan dunia seseorang, dari skema makna, yakni komponen kecil yang berisi
pengetahuan spesifik, nilai-nilai, dan keyakinan tentang seseorang. Banyak
sekema makna itu bekerja sama membentuk persepsi makna seseorang. Perspektif
makna itu diperoleh secara pasif selama masa kanak kanak sampai masa remaja,
dan makna itu akan terjadi melalui pengalaman masa kedewasaan. Perspektif makna
itu bertindak sebagai filter perspektual yang menentukan cara-cara seseorang
mengorganisir dan menafsirkan makna atas pengalaman hidupnya.
Pulo Freire (1970) menyatakan bahwa teori belajar
transformative disebut conscientization atau pengembangan
kesadaran. Bagi Freire tujuan pendidikan orang dewasa adalah mengembangkan
kesadaran kritis individu dan kelompok dengan cara mengajarkan mereka tentang
cara-cara belajar. Kesadaran kritis mengacu pada proses dimana orang dewasa
belajar mengembangkan kemampuan untuk menganalisis, manghadapi masalah, dan
mengambil kegiatan dilingkungan sosial, politik, kultural dan ekonomi. Kegiatan
belajar membantu orang dewasa mengembangkan pemahaman mengenai cara- cara
pembentukan struktur sosial dan mempengaruhi cara berfikir orang dewasa
mengenai dirinya sendiri dan dunianya.
Putu Sudira (2016: 186) menyatakan bahwa refleksi
dan berpikir kritis merupakan jantungnya belajar transformatif. Pemberian
bingkai asumsi-asumsi terhadap perubahan menentukan substansi pembelajaran
kritis. Guru dan dosen merupakan kunci penting katalis perubahan dan
pembelajaran. Pembelajaran dengan pengembangan kemampuan berefleksi dan
berpikir kritis dalam memahami realita perubahan sangat penting dalam proses
pembelajaran transformasi. Pembelajaran mendorong terjadinya dialog dan inovasi
menemukan ide-ide dan cara-cara baru dalam pemecahan masalah.
c)
Self Directed Learning
Self
directed learning menggunakan pendekatan
andragogi. Self directed learning merupakan
pembelajaran yang didesain oleh pembelajar sendiri dari rencana, pelaksanaan,
dan evaluasi. Dalam self directed learning seluruh keputusan
ditetapkan oleh pembelajar mengenai apa, dimana, kapan, berapa lama, dan dengan
siapa belajar. Self directed learning cocok untuk pendidikan
informal dan non formal (Putu Sudira, 2016: 187-188).
d)
Belajar Berpartner Sosial (Social
Partnerships Learning)
Perkembangan TVET memasuki fase tiga yang bercirikan
sistem pendidikan kejuruan demand-driven dimana sistem TVET dipengaruhi secara
langsung oleh kebutuhan ekonomi pasar sehingga TVET dituntut mampu menyediakan
tenaga profesional dengan kualifikasi sesuai dengan kebutuhan pemberi kerja.
Belajar berpartner sosial adalah jaringan belajar yang menghubungkan kelompok
lokal dengan organisasi atau lembaga eksternal yang bergerak lintas global,
regional, nasional, lokal, kota, tempat kerja, dan keluarga (Putu Sudira, 2016:
188).
Kemitraan adalah fitur lama dari kebijakan publik.
Misalnya, pendidikan sekolah didasarkan pada kemitraan antara pemerintah dan
profesi guru selama abad kedua puluh. Setelah tahun 1990-an, pendidikan
kejuruan dan pelatihan didasarkan pada kemitraan antara pengusaha, serikat
pekerja dan pemerintah dimana dibuat undang-undang melalui perguruan tinggi
vokasional dan lembaga Technical and Further Education (TAFE).
Sekarang kemitraan sedang mengembangkan cara-cara yang memotong batas seluruh
kelembagaan yang ditentukan.
Menurut Seddon et.al (2009) dalam PutuSudira (2016:
189) tujuan belajar berparthner sosial antara lain: Mengembangkan pengetahuan
diri; kepedulian, dan manajemen diri; Pemeliharaan
nilai-nilai demokratis; Pengembangan skill interpersonal dan social; Pemahaman
kebutuhan personal dan lokal dalam konteks sosial yang lebih luas, sistem dan
proses politik dan ekonomi; Mengadaptasikan dan menggunakanproses/prosedur
sosial politik untuk kemanfaatan local; Pengembangan daya lentur: kapasitas
untuk tetap komitmen menghadapi perubahan.
e)
Pembelajaran Orang Dewasa (Mature
Adult Learning)
Pembelajaran dalam kejuruan membutuhkan persyaratan
dan kondisi kematangan dan kedewasaan pada peserta didik. Lingkungan kerja
membutuhkan kesiapan dan kematangan anak dalam melaksanakan pekerjaan. Tanpa
kedewasaan dan kematangan maka pekerja akan kesulitan dalam mengembangkan
karirnya. Semua pekerjaan membutuhkan tanggung jawab dan disiplin tinggi yang
dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kedewasaan yang cukup (Putu Sudira,
2016: 190).
Konsep pembelajaran orang dewasa diarahkan untuk
pembentukan konsep diri terhadap sesuatu yang dipelajari, kemudian menemukan
makna dari sesuatu yang dipelajari. Pembelajar mengembangkan dan mengkonstruksi
pengetahuan melalui usaha-usahanya sendiri.
Pengembangan Kompetensi sebagai Proses Kolektif (Competence
As Collective Process), Kompetensi
adalah kapasitas diri seseorang yang dapat didemonstrasikan atau ditampilkan
berupa pengetahuan, skill, dan sikap sesuai bidangnya. Menurut Putu
Sudira (2016: 192) seseorang dikatakan kompeten jika mampu melakukan sesuatu
pekerjaan dengan skill yang tinggi sesuai bidangnya,mampu menjelaskan
prosedur kerja dan pengetahuan kerja, serta memiliki sikap kerja yang tepat
sebagai pekerja yang efektif dan produktif.
Pengembangkan kompetensi membutuhkan interaksi
sosial sebagai proses kolektif. Pekerjaan dan masalah pekerjaan membutuhkan
penyelesaian kolektif antar individu. Pengembangkan kompetensi kerja
membutuhkan proses kolektif antar individu atau kemampuan individu
menjalin kerjasama dalam tim untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Persyaratan
kerja yang mengalami perubahan ke arah lebih komplek, non rutin, konseptual,
bebas memilih, berbasis interaksi dengan orang lain membutuhkan pembelajaran
kompetensi yang interaktif kolektif diantara peserta didik (Putu Sudira, 2016:
193).
f)
Belajar Berbasis Kerja (Work Based
Learning)
Work
based learning diterapkan dalam TVET untuk memenuhi
kebutuhan ketuntasan belajar sesuai standar industri. Belajar berbasis kerja
dapat dilakukan di sekolah atau di industri. Pendidikan kejuruan dikatakan
efektif bila menghasilkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja.
Adanya industri berbasis pengetahuan mengandung konsekuensi berubahnya konsep
pembelajaran berbasis kerja (Putu Sudira).
Work
based learning harus mampu menghasilkan pekerja yang
kompeten dan cakap dalam menghadapi perubahan yang cepat serta memiliki
karakter kerja (soft skill) sesuai tuntutan industri. Perubahan
teknologi yang cepat di dunia industri menuntut pekerja yang memiliki kecakapan
skill motorik, knowledge, dan character.
g)
Belajar di Tempat Kerja (Workplace
Learning)
Setiap pemecahan masalah membutuhkan proses analisis
sintesis masalah sampai pada pengambilan keputusan yang efektif dan efisien.
Belajar memecahkan masalah dalam kehidupan kerja dan berlangsungdi tempat kerja
merupakan pembelajaran TVET abad 21 (Putu Sudira, 2016: 196).
Pembelajaran di tempat kerja membantu siswa untuk:
1) menguji coba pilihan pekerjaan dan karir mereka, 2) menyelesaikan tugas yang
diberikan dalam mata pelajaran yang bersangkutan di lingkungan industri yang
relevan, 3) mengetahui apa yang diinginkan oleh pemberi pekerjaan dari para
pekerja mereka, 4) membangun keahlian bekerja umum seperti komunikasi di tempat
kerja, kemandirian dan kerja sama tim, 5) mengembangkan keahlian khusus untuk
bidang kerja yang mereka inginkan, 6) mendapatkan kepercayaan diri dan
kedewasaan melalui partisipasi dalam lingkungan kerja orang dewasa, 7) membuat
keputusan berdasarkan informasi yang benar ketika merencanakan pilihan yang
akan mereka ambil dalam transisi mereka selama di sekolah dan menuju pendidikan
lebih lanjut, pelatihan dan pekerjaan.
Ada 3 asumsi John Thompson (1973) yang disampaikan
dalam bukunya yang berjudul “Foundations of Vocational Education” yaitu:
a. Pendidikan
vokasi bisa dikatakan efisien secara ekonomi apabila mampu mempersiapkan para
siswanya untuk suatu pekerjaan spesifik dalam masyarakat yang didasarkan pada
kebutuhan tenaga kerja yang riil.
b. Pendidikan
vokasi bisa dikatakan efisien secara ekonomi apabila mampu menjamin adanya pasokan
tenaga kerja untuk suatu wilayah.
c. Pendidikan
vokasi bisa dikatakan efisien secara ekonomi apabila para lulusannya
mendapatkan pekerjaan sesuai apa yang dilatih.
3) Teori
Belajar Humanisme
Dalam
teori humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia.
Pendekatan ini melihat kejadian yaitu bagaimana dirinya untuk melakukan hal-hal
yang positif. Kemampuan positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan
para pendidik yang beraliran humanisme biasanya menfokuskan pengajarannya pada
pembangunan kemampuan yang positif. Kemampuan positif tersebuterat kaitannya
dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif. Emosi
merupakan karateristik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik
beraliran humanisme.
Dalam
teori pembelajaran humanistik, belajar merupakan proses yang dimulai dan
ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia. Dimana memanusiakan manusia
di sini berarti mempunyai tujuan untuk mencapai aktualisasi diri, pemahaman
diri, serta realisasi diri orang yang belajar secara optimal.
a. Ciri-ciri Teori Humanisme
Pendekatan
humanisme dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif. Pendekatan
yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang
mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan
interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri yang ditujukan untuk
memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat. Ketrampilan
atau kemampuan membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam
pendidikan karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik.
Dalam
teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika siswa memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha
agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang
pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.Tujuan utama para pendidik
adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu
masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang
unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Ada salah
satu ide penting dalam teori belajar humanisme yaitu siswa harusmampu untuk
mengarahkan dirinya sendiri dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga siswa
mengetahui apa yang dipelajarinya serta tahu seberapa besar siswa tersebut
dapat memahaminya. Dan juga siswa dapat mengetahui mana, kapan, dan bagaimana
mereka akan belajar. Dengan demikian maka siswa diharapkan mendapat manfaat dan
kegunaan dari hasil belajar bagi dirinya sendiri. Aliran humanisme memandang
belajar sebagai sebuah proses yang terjadi dalam individu yang meliputi
bagian/domain yang ada yaitu dapat meliputi domain kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
Dengan
kata lain, pendekatan humanisme menekankan pentingnya emosi atau perasaan,
komunikasi terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap siswa. Untuk itu,
metode pembelajaran humanistik mengarah pada upaya untuk mengasah nilai-nilai
kemanusiaan siswa. Sehingga para pendidik/guru diharapkan dalam pembelajaran
lebih menekankan nilai-nilai kerjasama, saling membantu, dan menguntungkan,
kejujuran dan kreativitas untuk diaplikasikan dalam proses pembelajaran
sehingga menghasilkan suatu proses pembelajaran yang diharapkan sesuai dengan
tujuan dan hasil belajar yang dicapai siswa.
b.
Tokoh
Humanisme
Ada
beberapa pendapat para ahli mengenai teori belajar huamanisme yaitu diantaranya
:
1) Arthur Combs (1912-1999)
Arthur
Combs bersama dengan Donald Syngg menyatakan bahwa belajar terjadi apabila
mempunyai arti bagi individu tersebut. Artinya bahwa dalam kegiatan
pembelajaran guru tidak boleh memaksakan materi yang tidak disukai oleh siswa.
Sehingga siswa belajar sesuai dengan apa yang diinginkan tanpa adanya paksaan
sedikit pun. Sebenarnya hal tersebut terjadi tak lain hanyalah dari
ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesautu yang tidak akan memberikan kepuasan
bagi dirinya.
Sehingga
guru harus lebih memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi
siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha
merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan
seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan
dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun
dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi
pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa diri siswa untuk
memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan
menghubungkannya dengan kehidupannya.
2) Maslow
Teori
Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal : suatu
usaha yang positif untuk berkembang; kekuatan untuk melawan atau menolak
perkembangan itu.
Maslow
mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan
yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai
perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk
mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan
sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih
maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke
arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat
menerima diri sendiri.
Maslow
membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hirarki. Bila
seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis,
barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah
kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia
menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperharikan
oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian dan
motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa belum
terpenuhi.
3)
Carl
Roger
Seorang
psikolog humanism yang menekankan perlunya sikap salaing menghargai dan tanpa
prasangka dalam membantu individu mengatasi masalah-masalahkehidupannya.
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru
memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran.
Ada
beberapa Asumsi dasar teori Rogers adalah:Kecenderungan formatif; Segala hal di
dunia baik organik maupun non-organik tersusun dari hal-hal yang lebih kecil;
Kecenderungan aktualisasi; Kecenderungan setiap makhluk hidup untuk bergerak
menuju ke kesempurnaan atau pemenuhan potensial dirinya. Tiap individual
mempunyai kekuatan yang kreatif untuk menyelesaikan masalahnya.
Aplikasi
Teori Humanistik Terhadap Pembelajaran Siswa
Aplikasi
teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran
yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran
humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan
motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru
memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk
memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa
berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman
belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan
potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat
negatif.
Pembelajaran
berdasarkan teori humanisme ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi
pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan
sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan
aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar
dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh
pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab
tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika
yang berlaku.
Sumber Tulisan :
http://www.kompasiana.com/akmala-04/teori-belajar-humanisme_5508e7368133118c1cb1e1fd
model pembelajaran apakah yang cocok untuk digunakan pada pendidikan kejuruan?
BalasHapus