Rabu, 01 Maret 2017

TEORI BELAJAR DI DALAM PROSES PEMBELAJARAN KEJURUAN/VOKASI

Dosen Pengampu : DR. Hendra Jaya, MT
Mata Kuliah         : Teori dan Strategi Pembelajaran Kejuruan
Nama Mahasiswa : Sitti Nurbaya
Institusi                 : S2 PTK Program Pascasarjana UNM

A.    TEORI PENDIDIKAN KEJURUAN
Sekolah Menengah Kejuruan adalah salah satu jenjang pendidikan menengah dengan kekhususan mempersiapkan lulusannya untuk siap bekerja. Pendidikan kejuruan mempunyai arti yang bervariasi namun dapat dilihat suatu benang merahnya. Menurut Evans dalam Djojonegoro (1999) mendefinisikan bahwa pendidikan kejuruan adalah bagian dari sistem pendidikan yang mempersiapkan seseorang agar lebih mampu bekerja pada suatu kelompok pekerjaan atau satu bidang pekerjaan daripada bidang-bidang pekerjaan lainnya. Dengan pengertian bahwa setiap bidang studi adalah pendidikan kejuruan sepanjang bidang studi tersebut dipelajari lebih mendalam dan kedalaman tersebut dimaksudkan sebagai bekal memasuki dunia kerja.
Mengacu pada pada isi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional  No. 20 Tahun 2003 pasal 3 mengenai tujuan pendidikan nasional dan penjelasan pasal 15 yang menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja di bidang tertentu.
Pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu. Pengertian ini mengandung pesan bahwa setiap institusi yang menyelenggarakan pendidikan keJuruan harus berkomitmen menjadikan tamatannya mampu bekerja dalam bidang tertentu (Depdikbud, 1995). Berdasarkan definisi di atas, maka sekolah menengah kejuruan sebagai sub sistim pendidikan nasional seyogyanya mengutamakan mempersiapkan peserta didiknya untuk mampu memilih karir, memasuki lapangan kerja, berkompetisi, dan mengembangkan dirinya dengan sukses di lapangan kerja yang cepat berubah dan berkembang.


B.     FUNGSI DAN TUJUAN PENDIDIKAN KEJURUAN
              1.      Fungsi
Pendidikan kejuruan memiliki multi-fungsi yang kalau dilaksanakan dengan  baik akan berkontribusi besar terhadap pencapaian tujuan pembangunan nasional. Fungsi-fungsi dimaksud antara lain meliputi :
1) Sosialisasi, yaitu transmisi nilai-nilai yang berlaku serta norma-normanya sebagai konkrititasi dari nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai yang dimaksud adalah teori ekonomi, solidaritas, religi, seni, dan jasa yang cocok dengan konteks Indonesia.
2)   Kontrol Sosial, yaitu kontrol perilaku agar sesuai dengan nilai sosial beserta norma-normanya, misalnya kerjasama, keteraturan, kebersihan, kedisiplinan, kejujuran dan sebagainya.
3)   Seleksi dan alokasi, yaitu mempersiapkan, memilih dan menempatkan calon tenaga kerja sesuai dengan tanda-tanda pasar kerja, yang berarti bahwa  pendidikan kejuruan harus berdasarkan ”demand-driven.”
4)   Asimilasi dan konservasi budaya, yaitu abosrbsi terhadap kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, serta memelihara kesatuan dan persatuan budaya.
5)  Mempromosikan perubahan demi perbaikan, yaitu pendidikan tidak sekedar  berfungsi mengajarkan apa yang ada, tetapi harus berfungsi sebagai ”pendorong  perubahan.”
Dapat diringkas bahwa pendidikan kejuruan berfungsi sekaligus sebagai ”akulturasi” (penyesuaian diri) dan ”enkulturasi” (pembawa perubahan). Karena itu,  pendidikan kejuruan tidak hanya adaptif terhadap perubahan, tetapi juga harus antisipatif.

        2.      Tujuan
UUSPN No. 20 tahun 2003 pasal 15, menyatakan pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk menyiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Tujuan tersebut dapat dijabarkan lagi oleh Dikmenjur (2003) menjadi tujuan umum dan tujuan khusus, sebagai berikut :
Tujuan umum, sebagai bagian dari sistem pendidikan menengah kejuruan SMK bertujuan :
1)  Menyiapkan peserta didik agar dapat menjalani kehidupan secara layak,
2)  Meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik,
3)  Menyiapkan peserta didik agar menjadi warga negara yang mandiri dan bertanggung jawab,
4)  Menyiapkan peserta didik agar memahami dan menghargai keanekaragaman budaya bangsa indonesia,
5)  Menyiapkan peserta didik agar menerapkan dan memelihara hidup sehat, memiliki wawasan lingkungan, pengetahuan dan seni.
Tujuan khusus, SMK bertujuan :
1)  Menyiapkan peserta didik agar dapat bekerja, baik secara mandiri atau mengisi lapangan pekerjaan yang ada di dunia usaha dan industri sebagai tenaga kerja tingkat menengah, sesuai dengan bidang dan program keahlian yang diminati
2)  Membekali peserta didik agar mampu memilih karir, ulet dan gigih dalam berkompetensi dan mampu mengembangkan sikap profesional dalam bidang keahlian yang diminati,
3)  Membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) agar mampu mengembangkan diri sendiri melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi
Kompetensi lulusan pendidikan kejuruan sebagai subsistem dari sistem pendidikan nasional menurut Depdikbud (2001) adalah :
1)  Penghasil tamatan yang memiliki keterampilan dan penguasaan IPTEK dengan bidang dari tingkat keahlian yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan,
2)  Penghasil tamatan yang memiliki kemampuan produktif, penghasil sendiri, mengubah status tamatan dari status beban menjadi aset bangsa yang mandiri,
3) Penghasil penggerak perkembangna industri Indonesia yang kompetitif menghadapi pasar global
4)  Penghasil tamatan dan sikap mental yang kuat untuk dapat mengembangkan dirinya secara berkelanjutan.
Dikmenjur (2000) mengatakan bahwa hasil kerja pendidikan harus mampu menjadi pembeda dari segi unjuk kerja, produktifitas, dan kualitas hasil kerja dibandingkan dengan tenaga kerja tanpa pendidikan kejuruan. Jadi pendidikan kejuruan adalah suatu lembaga yang melaksanakan proses pembelajaran keahlian tertentu beserta evaluasi berbasis kompetensi, yang mempersiapkan siswa menjadi tenaga kerja setingkat teknisi.

C.    LANDASAN PENDIDIKAN KEJURUAN
1). Landasan Yuridis
Landasan yuridis pendidikan Indonesia adalah  seperangkat konsep peraturan perundang-undangan yang menjadi titik tolak  sistem pendidikan Indonesia, yang menurut  Undang-Undang  Dasar 1945. UUD 1945  mengamanatkan kepada pemerintah melalui usaha penyelenggaraan sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan Undang-Undang.
UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 15, menjelaskan bahwa SMK merupakan “pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama dalam bidang pekerjaan tertentu”. Dan Pasal 38 yang menyatakan bahwa kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan pemerintah melalui BSNP. Kepmendikbud No. 323/U/1997 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Sistem Ganda di SMK. PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Kelulusan. Permendiknas No. 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan No. 23 tentang Standar Isi dan Standar Kelulusan Ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di SMK.
2). Landasan Filosofis
Dalam pendidikan kejuruan ada dua aliran filsafat yang sesuai dengan keberadaanya, yaitu eksistensialisme dan esensialisme. Eksistensialisme berpandangan bahwa pendidikan kejuruan harus mengembangkan eksistensi manusia untuk bertahan hidup, bukan merampasnya. Sedangkan esensialisme berpandangan bahwa pendidikan kejuruan harus mengaitkan dirinya dengan sistem-sistem yang lain seperti ekonomi, politik, sosial, ketenaga kerjaan serta religi dan moral.
Filosofi memandang pendidikan kejuruan sebagai pihak yang harus bertanggungjawab atas penyiapan orang untuk bekerja atau mandiri, maka menuntut adanya jenis pendidikan yang dapat menyediakan berbagai alternatif pilihan itu, dan untuk hal tersebut yang paling tepat adalah pendidikan kejuruan itu sendiri. Oemar Hamalik (1990) dalam  http://ismailmajid.wordpress.com/ 2012/10/08/landasan-filosofi-dan-yuridis-pendidikan-teknologi-kejuruan/ secara tegas memberikan gambaran tentang falsafah pendidikan kejuruan dapat dirangkum ke dalam enam hal yaitu:
a)   Pekerjaan yang dipilih individu harus berdasarkan pada orientasi individu itu sendiri, misalnya    bakat, minat, kemampuan, dan sebagainya.
b)   Beberapa pekerjaan yang ditawarkan meliputi semua aspek kehidupan.
c)   Setiap individu harus mendapatkan kesepatan untuk memilih jenis pekerjaan yang cocok dengan orientasi dan kesempatan kerja yang sama.
d)  Individu perlu mendapat dorongan membangun masyarakartnya, berdasarkan pengetahuan, skill, dan kesempatan kerja yang ada.
e)  Sumber-sumber pendidikan harus dapat mengembangkan sumber daya manusia, menjadi individu yang mampu membantu inidividu lainnya, sebagai pemimpin dan pembangun.
f)    Alokasi sumber-sumber harus merefleksi kebutuhan manusia.
Charles Prosser dalam Vocational Education in Democracy (1949) yang dikutip oleh William G. Camp dan John H. Hillison (1984, 15-16) dalam http://ismailmajid.wordpress.com/2012/10/08/landasan-filosofi-dan-yuridis-pendidikan-teknologi-kejuruan/ memberikan 16 butir dalil sebagai falsafah pendidikan kejuruan yaitu:
a)  Pendidikan kejuruan akan efisien apabila disediakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi nyata  dimana lulusan akan bekerja.
b) Latihan kejuruan akan efektif apabila diberikan tugas atau program seusai dengan apa yang dikerjakan kelak. Demikian pula fasilitas atau peralatan beserta proses kerja dan operasionalnya dibuat sama dengan kondisi nyata nantinya.
c)  Pendidikan kejuruan akan efektif bilmana latihan dan tugas yang diberikan secara langsung dan spesifik (dalam arti mengerjakan benda kerja sesungguhnya, bukan sekedar tiruan).
d)  Pendidikan kejuruan akan efektif bilamana dalam latihan kerja atau dalam pengerjaan tugas sudah dibiasakan pada kondisi nyata nantinya.
e)  Pendidikan kejuran akan efektif bilamana program-program yang disediakan adalah banyak dan bervariasi meliputi semua profesi serta mampu dimanfaatkan atau ditempuh oleh peserta didik.
f)   Latihan kejuruan akan efektif apabila diberikan secara berulang kali hingga diperoleh penguasaan yang memadai bagi peserta didik.
g)  Pendidikan kejuruan akan efektif bila para guru dan instrukturnya berpengalaman dan mampu mentransfer kepada peserta didik.
h)   Pendidikan kejuruan akan efektif bilamana mampu memberikan bekal kemampuan minimal yang dibutuhkan dunia kerja (sebagai standar minimal profesi), sehingga mudah adaptif dan mudah pengembangannya.
i)    Pendidikan kejuruan akan efektif apabila memperhatikan kondisi pasar kerja.
j)  Proses pemantapan belajar dan latihan peserta didik dalam pendidikan kejuruan akan efektif apabila diberikan secara proporsional.
k) Sumber data yang dipergunakan untuk menentukan program pendidikan didasarkan atas pengalaman nyata pekerjaan di lapangan.
l)   Pendidikan kejuruan memberikan program tertentu yang mendasar sebagai dasar kejuruannya serta program lain sebagai pengayaan atau pengembangannnya.
m) Pendidikan kejuruan akan efisien apabila sebagai lembaga pendidikan yang menyiapkan SDM untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja tertentu dan dalam waktu tertentu.
n) Pendidikan kejuruan dapat dirasakan manfaatnya secara sosial kemasyarakatan termasuk memperhatikan hubungan kemanusiaan dan hubungan dengan masyarakat luar dunia pendidikan.
o)   Administrasi pendidikan kejuruan akan efisien apabila bersifat fleksibel dan tidak bersifat kaku.
Walaupun pendidikan kejuruan telah diusahakan dengan biaya investasi semaksimal mungkin, namun apabila sampai dalam batas minimal tersebut tidak efektif, maka lebih baik penyelenggaraan pendidikan kejuruan dibatalkan.
Berdasarkan falsafah pendidikan kejuruan yang diuraikan di atas, khususnya dari Charles Prosser dapat diasumsikan bahwa 16 butir falsafah tersebut juga sekaligus kriteria dasar yang sagat esensial dalam penyelenggaraan pendidikan kejuruan. Maksudnya adalah pendidikan kejuruan akan dikatakan dengan klasifikasi baik apabila mampu memenuhi 16 kriteria falsafah pendidikan kejuruan tersebut. 

D.    TEORI BELAJAR
Teori belajar dan pembelajaran sangatlah penting dalam pelaksanaan pendidikan. Teori belajar itu sendiri adalah sekumpulan dalil yang berkaitan secara sistematis yang menetapkan kaitan sebab akibat diantara variabel yang saling bergantung agar terjadi suatu perubahan tingkah laku yang relatif permanen dalam jangka waktu yang cukup lama sebagai hasil dari latihan atau pengalaman. Kriteria teori yang ideal yaitu formal, akurat, konsisten secara internal, dan memiliki cakupan yang luas mengenai pembelajaran dan motivasi.
Teori ideal ini mengandung variabel-variabel perantara yang dinyatakan secara eksplisit. Variabel-variabelnya jauh lebih kognitif dibandingkan pada teori-teori terdahulu. Namun teori tersebut juga terkait dengan topik perkembangan yang menjelaskan bagaimana manusia berfungsi seperti apa yang dilakukan. Secara umum teori belajar dikelompokkan menjadi empat aliran, yaitu teori behavioristik, teori kognitif, teori konstruktivisme, dan teori humanisme.
Setiap teori pembelajaran mempunyai kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda.Masing-masing teori menekankan aspek tertentu dalam proses pembelajaran yang perlu kita pertimbangkan. Namun, pada dasarnya setiap teori pembelajaran memiliki tujuan yang sama yaitu mewujudkan pendidikan yang mampu mencetak peserta didik agar dapat bersaing dan terus mengikuti perkembangan zaman. Dalam menerapkan teori belajar, terkadang guru menggunakan lebih dari satu teori belajar dalam proses pembelajaran.
Walaupun memang pada dasarnya tidak ada teori belajar yang terbaik. Tinggal bagaimana kita bisa menentukan teori mana yang cocok dan bisa melaksanakan pembelajaran dengan baik sesuai dengan keadaan peserta didik. Pendidikan, bukanlah melulu penerapan teori-teori belajar. Namun, ketepatan memilih metode dan pendekatan sangat penting dalam pendidikan.
Oleh karena itu, guru harus menggunakan metode dan pendekatan pembelajaran yang tidak hanya menarik, tetapi juga memberikan ruang bagi peserta didik untuk berkreatifitas dan terlibat secara aktif sepanjang proses pembelajaran. Sehingga aspek-aspek yang ada dalam diri peserta didik dapat dikembangkan secara optimal.
Tidak dapat dipungkiri teori-teori belajar klasik ikut berperan terhadap lahirnya teori belajar kejuruan. Teori-teori belajar klasik tersebut sebagai dasar perkembangan teori belajar kejuruan. Teori belajar klasik yang umum digunakan dalam perkembangan pembelajaran adalah teori belajar behavioristik, kognitif, dan konstruktivis. Beberapa ulasan teori belajar klasik sebagai berikut:
1)      Teori Belajar Behavioristik
Pandangan teori belajar behavioristik bahwa perubahan tingkah laku seseorang karena ada rangsangan eksternal. Dalam belajar terjadi pengkondisian dan pemberian stimulus sebagai sebagai instrumental conditioning. Peserta didik dianggap sebagai seorang yang pasif, merespon bila ada stimulus. Peserta didik diibaratkan kertas putih dan dapat dibentuk melalui penguatan positif maupun negatif. Konsep dari teori  belajar behavioristik adalah respon perubahan perilaku yang teramati, terukur, dan ternilai konkrit karena stimulus dari luar.   Kunci pokok dan prinsip dasar stimulus dalam belajar adalah pengkondisian lingkungan belajar (Putu Sudira: 2016: 161).
Menurut Shcunk (2012: 114) teori-teori belajar behavioristik dari Thorndike, Pavlov, dan Guthrie penting bagi sejarah. Meskipun teori ini berbeda, tetapi memiliki kesamaan pandangan bahwa belajar sebagai proses pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Thorndike percaya bahwa respon terhadap rangsangan diperkuat jika diikuti oleh konsekuensi yang memuaskan. Eksperimental Pavlov menunjukkan bagaimana stimulus bisa dikondisikan untuk memperoleh respon dengan yang dipasangkan dengan rangsangan lainnya. Hipotesis Guthrie bahwa hubungan berdekatan antara stimulus dan respon menentukan pasangannya.
Pavlov dalam teorinya mengatakan stimulus alami dapat digantikan dengan stimulus buatan sehingga bisa diulang-ulang. Skinner mengajukan teori bahwa hadiah dan hukuman merupakan faktor penting dalam belajar. Albert Bandura dengan teori pembiasaan merupakan perbuatan interaksi sosial dengan mengamati dan menirukan (Putu Sudira, 2016: 162).
Behavioris melihat proses belajar sebagai perubahan perilaku, dan akan mengatur lingkungan untuk memperoleh respon yang diinginkan melalui perangkat seperti tujuan perilaku, pembelajaran berbasis kompetensi, dan pengembangan keterampilan dan pelatihan. Pendekatan pendidikan seperti pengukuran berbasis kurikulum, dan pembelajaran  langsung muncul dari model ini.
Pada konsep belajar behaviorism ini lingkungan sangat besar perannya untuk membentuk anak. Bila lingkungan memberikan stimulus positif maka anak akan berperilaku positif. Teori ini dapat diterapkan dalam pendidikan kejuruan yakni dalam pembelajaran berbasis kompetensi dan pembelajaran langsung. Sebelum melakukan suatu pekerjaan anak melihat apa yang dicontohkan oleh guru, kemudian mencoba dengan meniru perilaku guru dan dilakukan berulang-ulang.
Menurut Putu Sudira (2016:163) teori belajar behavioristik relevan digunakan dalam belajar skill motorik pada level pemula. Pembelajar kejuruan pemula sebelum berlatih suatu skill motorik memerlukan interaksi sosial dengan mengamati kemudian meniru sikap dan cara kerja expert atau guru (teori Bandura), mempraktikkan secara langsung (teori Skinner), diulang-ulang hingga menguasai (teori Pavlov), mempersiapkan perangkat latihan dan mental peserta didik sebelum latihan (teori Thorndike).Teori belajar behavioristik bermanfaat pula untuk menghadapi pembelajar kejuruan yang pasif. Guru mendesain pembelajaran sedemikian rupa sebagai bentuk stimulus agar mendapat respon pembelajar. Di Indonesia umumnya siswa SMK masih cenderung pasif dalam proses pembelajaran apalagi siswa pemula atau kelas X.
2)      Teori Belajar Kognitif
Teori kognitif menekankan akuisisi pengetahuan internal dan struktur mental, lebih dekat ke akhir rasionalis dari kontinum epistemologi (Bower & Hilgard, 1981). Belajar disamakan dengan perubahan diskrit antara ungkapan pengetahuan bukan dengan perubahan probabilitas respon. Teori kognitif fokus pada konseptualisasi proses belajar siswa dan mengatasi masalah bagaimana informasi yang diterima, terorganisir, disimpan, dan diambil oleh pikiran. Belajar yang bersangkutan tidak begitu banyak dengan peserta didik apa yang dilakukan, tetapi dengan apa yang mereka ketahui dan bagaimana mereka datang untuk memperolehnya (Jonassen, 1991b). Akuisisi pengetahuan digambarkan sebagai aktivitas mental yang memerlukan coding internal dan penataan oleh pembelajar. Pembelajar dipandang sebagai peserta sangat aktif dalam proses pembelajaran (Ertmer, Peggy A. and Newby., Timothy J., 2013).
Kognitivisme fokus pada aktivitas mental dan pikiran, memproses informasi, memasukkan memory, memecahkan masalah, menalar. Pengetahuan merupakan konstruksi mental dalam bentuk skema, simbol, bentuk, rumus, teori, warna, dan lain-lain.  Teori pendukung kognitivisme antara lain: 1) component display theory dari Merrill; 2) teori elaborasi dari Reigeluth; 3) konstruktivisme kognitif dari Gagne, Bringgs, dan Bruner,; 4) structural learning dari Scandura (Putu Sudira, 2016: 164).
Menurut teori kognitif memori diberikan peran penting dalam proses pembelajaran. Hasil belajar ketika informasi disimpan dalam memori dalam cara yang bermakna terorganisir. Guru sebagai desainer bertanggung jawab untuk membantu peserta didik dalam mengorganisir informasi dalam beberapa cara optimal. Guru menggunakan teknik seperti penyelenggara depan, analogi, hubungan hirarkis, dan matriks untuk membantu peserta didik menghubungkan informasi baru untuk pengetahuan sebelumnya. Melupakan adalah ketidakmampuan untuk mengambil informasi dari memori karena gangguan, kehilangan memori, atau hilang atau isyarat yang tidak memadai diperlukan untuk mengakses informasi (Ertmer, Peggy A. and Newby., Timothy J., 2013).
Teori kognitif dalam pendidikan kejuruan digunakan dalam pembelajaran ketrampilan berpikir (thinking skills). Selain skill motorik, skill kognitif  diperlukan dalam pendidikan kejuruan abad 21 untuk membekali lulusan mudah beradaptasi dalam dunia kerja yang mengalami perubahan sangat cepat dibidang teknologi. Putu Sudira (2016: 166) menyatakan High Order Thinking Skill (HOTS) semakin dibutuhkan dalam pembelajaran abad 21. Critical thinking, creativity, communication, collaboration, penggunaan multimedia, pemrosesan informasi merupakan variabel penting belajar abad 21 sebagai dasar mengkonstruksi pengetahuan. Pembelajaran TVET membutuhkan keaktifan dalam interakaksi sosial, membangun ikon, menggunakan simbol-simbol atau bahasa dan didisplaykan menjadi rumus, model, konsep, algoritma program, dan sebagainya. Belajar dengan memecahkan masalah dari yang sederhana ke yang komplek. Dalam pengembangan kompetensi TVET diperlukan konsep belajar hand-on, mind on, dan heart on.

3)      Teori Belajar Konstruktivis
Shcunk (2012: 75) menyatakan “Constructivism is a psychological and philosophical perspective contending that individuals form or construct much of what they learn and understand (Bruning et al., 2004).  A major influence on the rise of constructivism has been theory and research in human development, especially the theories of Piaget and Vygotsky.”  Konstruktivisme adalah perspektif psikologis dan filosofis menyatakan bahwa individu membentuk atau membangun pengetahuan dari apa yang dipelajari dan dipahami. Teori dari Piaget and Vygotsky berpengaruh besar pada peningkatan constructivism melalui teori dan riset pengembangan manusia. Menurut Wina Sanjaya (2010: 246) belajar menurut teori kontruktivisme merupakan proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan merupakan hasil dari proses mengkontruksi yang dilakukan individu.
Teori belajar konstruktivistik menekankan bahwa belajar adalah proses aktif mengkonstruksi pengetahuan. Peserta didik berperan sebagai konstruktor pengetahuan. Berlangsungnya proses mental mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan yang ada sebelumnya merupakan proses mengkonstruksi pengetahuan. Belajar merupakan proses aktif mengkonstruksi pengetahuan, ide baru dengan pengalaman sebelumnya (Putu Sudira: 2016: 166).
Konsekuensi dari penggunaan teori konstruktivis dalam pembelajaran adalah bagaimana sekolah dan guru menciptakan  lingkungan konstruktivis yang kaya pengalaman. Pembelajaran konstruktivis berbeda dengan pembelajaran tradisional. Dalam pembelajaran konstruktivis, kurikulum berfokus pada konsep. Kegiatan pembelajaran biasanya memanfaatkan data dan bahan manipulatif sebagai sumber utama. Guru berinteraksi dengan siswa dengan bertanya berdasarkan sudut pandang mereka. Siswa sering bekerja dalam kelompok. Penilaiannya menggunakan penilaian otentik, observasi dan portofolio. Kuncinya ada pada struktur lingkungan belajar, sehingga siswa dapat secara efektif membangun pengetahuan dan keterampilan baru (Schunk, 2012: 261).
Berdasarkan teori konstruktivis tersebut banyak model pembelajaran berpikir tingkat tinggi yang diciptakan. Sekolah kejuruan relevan menerapkan teori ini untuk menjawab tantangan dunia kerja abad 21 yang memerlukan tenaga kerja yang memiliki skill teknik sekaligus kemampuan beradaptasi dengan pengetahuan baru. Pembelajaran berlandasan teori konstruktivis menekankan pada kooperatif dan kolaboratif dengan pembentukkan kelompok kerja siswa. Hal ini sesuai dengan kebutuhan skill abad 21 yang memerlukan  kemampuan kerja dalam tim. Teori konstruktivis menginspirasi para ahli pembelajaran untuk membuat model-model pembelajaran baru berbasis konstruktivis.
Teori-teori belajar TVET berkembang pesat seiring dengan kebutuhan dunia pada tenaga kerja yang siap pakai. Pendidikan kejuruan bersifat dinamis sehingga teori belajar kontemporer yang banyak mewarnai pendidikan kejuruan. Konsep belajar kontemporer dalam TVET antara lain belajar berbasis kehidupan (life based learning),  dan belajar sepanjang hayat (long life learning). TVET berperan dalam pendidikan untuk semua (education for all) baik pendidikan formal maupun non formal dari semua tingkat usia. Putu Sudira (2016: 172) menyatakan  belajar berbasis kehidupan (life based learning) dan belajar sepanjang hayat (long life learning) untuk bertujuan untuk memperoleh ketrampilan menjalani hidup (life skill). Life skill merupakan keseluruhan skill yang dibutuhkan untuk menjalani kehidupan sepanjang waktu. Konsep belajar kontemporer dalam TVET adalah belajar yang terkonstruksi secara sosial, situasional, kondisional, berpartisipasi langsung dalam masyarakat, belajar sepanjang hayat, dan belajar berbasis  kehidupan. Pembelajaran TVET selalu kontekstual sesuai dengan situasi terkini dan mengedepankan pendekatan partnership serta interaksi sosial.
Teori belajar kontemporer dalam TVET antara lain: 1) life based learning, 2) belajar berpartner sosial (social partnership), 3) belajar orang dewasa (mature adult learning), 4) pengembangan kompetensi sebagai proses kolektif (competence as collective process), 5) belajar berbasis kerja (work based learning, 6) belajar di tempat kerja (workplace learning), 7) belajar langsung dalam kehidupan kerja (learning in working life), 8) long life learning.  Beberapa teori belajar kontemporer untuk pendidikan kejuruan  diulas dibagian berikut;
                 a)      Life Based Learning
Masa Industri berbasis pengetahuan (Knowledge-based Industry) membutuhkan pekerja berpengetahuan (knowledge workers) yang siap menerima tantangan pekerjaan dengan kondisi lingkungan yang dinamis mengikuti perubahan dan arus tekanan yang semakin kontradiktif. Seorang pekerja yang berpengetahuan ditandai dengan gairah belajar yang tinggi dan pengembangan kapabilitas  diri secara berkelanjutan.
Life-based learning tidak terbatas hanya pada belajar bekerja, belajar mendapatkan pekerjaan, apalagi hanya belajar di tempat kerja. Staron (2011) menyatakan “Life-based learning proposes that learning for work is not restricted to learning at work”. Pernyataan Staron inipun tidak cukup untuk kondisi Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia belajar untuk bekerja (learning for work) merupakan sebagian dari kebutuhan hidup. Masih banyak kebutuhan lain yang harus dipenuhi  seperti kebutuhan bersosialisasi, beribadah, berbangsa, dan bernegara. Life-based learning adalah proses pemerolehan pengetahuan dan skills memahami hakekat kehidupan, terampil memecahkan masalah-masalah kehidupan, menjalani kehidupan secara seimbang dan harmonis.
Life-based learning mengetengahkan konsep bahwa belajar dari kehidupan adalah belajar yang sesungguhnya. Visi life-based learning dalam TVET adalah terbangunnya keyakinan dan budaya bekerja, belajar untuk saling membantu diantara peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam pengembangan potensi diri mereka masing-masing agar berkembang kapabilitasnya secara terus-menerus dalam bidang kejuruannya (Putu Sudira, 2016: 174-176).
Karakteristik kunci life based learning menurut Staron (2011), yaitu: 1) Menekankan pengembangan kapasitas. 2) Mempromosikan pembelajaran berorientasi pada kekuatan. 3) Mengenali berbagai sumber belajar. 4) Keseimbangan antara integritas diri dan kegunaan. 5) Tanggungjawab belajar ada pada setiap diri individu. 6) Peran organisasi bergeser dari penyedia program pembelajaran ke pencipta lingkungan terbaik. 7) Pengakuan bahwa kontradiksi adalah kekuatan. 8) Berinvestasi dalam pengembangan seluruh orang. 9) Mengakui disposisi manusia sebagai sesuatu yang kritis. 10) Menghargai bahwa perubahan secara kualitatif berbeda.
Life-based learning merupakan pengembangan spiral dari expert centred learning dan work-based learning. Expert centred learning adalah pembelajaran berpusat kepada pakar, berbasis kelas, proses adopsi dan implementasi. Work-based learning adalah pembelajaran yang terpasilitasi berbasis projek. Life-based learning mengetengahkan pembelajaran self directed, continuous enquiry, adaptability and sustainability. Life based Learning dalam TVET merupakan pendekatan pembelajaran kontekstual-integratif-holistik pengembangan kapabilitas (baca: kemampuan dan kemauan hidup) diri sesorang secara berkelanjutan. Life based Learning merupakan kunci perubahan dan pengembangan ekologi baru pembelajaran TVET (Putu Sudira, 2016: 181)

        b)      Teori Belajar Transformatif (Transformative Learning Theory)
Teori belajar transformatif muncul sebagai respon atas perubahan tanpa henti diberbagai aspek kehidupan dan life long learning. Teori  belajar transformatif muncul sebagai jawaban atas masalah-masalah sosial dalam TVET (Putu Sudira, 2016: 183). Konsep belajar trasformatif pertama kali di kembangkan oleh Jack Mezirow. Belajar trasformatif didefinisikan sebagai belajar yang mempengaruhi perubahan jangka panjang pada diri pembelajar di bandingkan dengan jenis belajar yang lain. Pengalaman belajar yang menghasilkan dampak yang bermakna, atau perubahan paradigma yang mempengaruhi pengalaman berikutnya bagi pembelajar.
Teori belajar transformatif merupakan teori belajar dilevel yang dalam meliputi kreativitas, berpikir kritis, kepedulian diri secara emosional, dan perubahan cara pandang seseorang untuk maju dan mengarah pada perubahan yang bersifat positif. Belajar trasnformatif adalah  “a psycho educational process” atau proses pendidikan yang memberi bantuan kepada seseorang atau kelompok orang untuk memahami dan mengatasi tantangan distorsi pola pikir mereka tentang dkehidupan dunia. Keberadaan dunia saat ini dan perubahan yang akan datang dijadikan evaluasi dan kemudian ditransformasikan dalam pola pikir baru (Putu Sudira. 2016: 184)
Mezirow mengembangkan konsep perspektif makna, yakni pandangan dunia seseorang, dari skema makna, yakni komponen kecil yang berisi pengetahuan spesifik, nilai-nilai, dan keyakinan tentang seseorang. Banyak sekema makna itu bekerja sama membentuk persepsi makna seseorang. Perspektif makna itu diperoleh secara pasif selama masa kanak kanak sampai masa remaja, dan makna itu akan terjadi melalui pengalaman masa kedewasaan. Perspektif makna itu bertindak sebagai filter perspektual yang menentukan cara-cara seseorang mengorganisir dan menafsirkan makna atas pengalaman hidupnya.
Pulo Freire (1970) menyatakan bahwa teori belajar transformative disebut conscientization atau pengembangan kesadaran. Bagi Freire tujuan pendidikan orang dewasa adalah mengembangkan kesadaran kritis individu dan kelompok dengan cara mengajarkan mereka tentang cara-cara belajar. Kesadaran kritis mengacu pada proses dimana orang dewasa belajar mengembangkan kemampuan untuk menganalisis, manghadapi masalah, dan mengambil kegiatan dilingkungan sosial, politik, kultural dan ekonomi. Kegiatan belajar membantu orang dewasa mengembangkan pemahaman mengenai cara- cara pembentukan struktur sosial dan mempengaruhi cara berfikir orang dewasa mengenai dirinya sendiri dan dunianya.
Putu Sudira (2016: 186) menyatakan bahwa refleksi dan berpikir kritis merupakan jantungnya belajar transformatif. Pemberian bingkai asumsi-asumsi terhadap perubahan menentukan substansi pembelajaran kritis. Guru dan dosen merupakan kunci penting katalis perubahan dan pembelajaran. Pembelajaran dengan pengembangan kemampuan berefleksi dan berpikir kritis dalam memahami realita perubahan sangat penting dalam proses pembelajaran transformasi. Pembelajaran mendorong terjadinya dialog dan inovasi menemukan ide-ide dan cara-cara baru dalam pemecahan masalah.

         c)      Self Directed Learning
Self  directed learning  menggunakan pendekatan andragogi.  Self  directed learning  merupakan pembelajaran yang didesain oleh pembelajar sendiri dari rencana, pelaksanaan, dan evaluasi. Dalam self  directed learning seluruh keputusan ditetapkan oleh pembelajar mengenai apa, dimana, kapan, berapa lama, dan dengan siapa belajar. Self  directed learning cocok untuk pendidikan informal dan non formal (Putu Sudira, 2016: 187-188).

         d)     Belajar Berpartner Sosial (Social Partnerships Learning)
Perkembangan TVET memasuki fase tiga yang bercirikan sistem pendidikan kejuruan demand-driven dimana sistem TVET dipengaruhi secara langsung oleh kebutuhan ekonomi pasar sehingga TVET dituntut mampu menyediakan tenaga profesional dengan kualifikasi sesuai dengan kebutuhan pemberi kerja. Belajar berpartner sosial adalah jaringan belajar yang menghubungkan kelompok lokal dengan organisasi atau lembaga eksternal yang bergerak lintas global, regional, nasional, lokal, kota, tempat kerja, dan keluarga (Putu Sudira, 2016: 188).
Kemitraan adalah fitur lama dari kebijakan publik. Misalnya, pendidikan sekolah didasarkan pada kemitraan antara pemerintah dan profesi guru selama abad kedua puluh. Setelah tahun 1990-an, pendidikan kejuruan dan pelatihan didasarkan pada kemitraan antara pengusaha, serikat pekerja dan pemerintah dimana dibuat undang-undang melalui perguruan tinggi vokasional dan lembaga Technical and Further Education (TAFE). Sekarang kemitraan sedang mengembangkan cara-cara yang memotong batas seluruh kelembagaan yang ditentukan.
Menurut Seddon et.al (2009) dalam PutuSudira (2016: 189) tujuan belajar berparthner sosial antara lain: Mengembangkan pengetahuan diri; kepedulian, dan manajemen diri;  Pemeliharaan nilai-nilai demokratis; Pengembangan skill interpersonal dan social; Pemahaman kebutuhan personal dan lokal dalam konteks sosial yang lebih luas, sistem dan proses politik dan ekonomi; Mengadaptasikan dan menggunakanproses/prosedur sosial politik untuk kemanfaatan local; Pengembangan daya lentur: kapasitas untuk tetap komitmen menghadapi perubahan.

        e)      Pembelajaran Orang Dewasa (Mature Adult Learning)
Pembelajaran dalam kejuruan membutuhkan persyaratan dan kondisi kematangan dan kedewasaan pada peserta didik. Lingkungan kerja membutuhkan kesiapan dan kematangan anak dalam melaksanakan pekerjaan. Tanpa kedewasaan dan kematangan maka pekerja akan kesulitan dalam mengembangkan karirnya. Semua pekerjaan membutuhkan tanggung jawab dan disiplin tinggi yang dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kedewasaan yang cukup (Putu Sudira, 2016: 190).
Konsep pembelajaran orang dewasa diarahkan untuk pembentukan konsep diri terhadap sesuatu yang dipelajari, kemudian menemukan makna dari sesuatu yang dipelajari. Pembelajar mengembangkan dan mengkonstruksi pengetahuan melalui usaha-usahanya sendiri.
Pengembangan Kompetensi sebagai Proses Kolektif (Competence As Collective Process),  Kompetensi adalah kapasitas diri seseorang yang dapat didemonstrasikan atau ditampilkan berupa pengetahuan, skill, dan sikap sesuai bidangnya. Menurut Putu Sudira (2016: 192) seseorang dikatakan kompeten jika mampu melakukan sesuatu pekerjaan dengan skill yang tinggi sesuai bidangnya,mampu menjelaskan prosedur kerja dan pengetahuan kerja, serta memiliki sikap kerja yang tepat sebagai pekerja yang efektif dan produktif.
Pengembangkan kompetensi membutuhkan interaksi sosial sebagai proses kolektif. Pekerjaan dan masalah pekerjaan membutuhkan penyelesaian kolektif antar individu. Pengembangkan kompetensi kerja  membutuhkan proses kolektif  antar individu atau kemampuan individu menjalin kerjasama dalam tim untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Persyaratan kerja yang mengalami perubahan ke arah lebih komplek, non rutin, konseptual, bebas memilih, berbasis interaksi dengan orang lain membutuhkan pembelajaran kompetensi yang interaktif kolektif diantara peserta didik (Putu Sudira, 2016: 193).

         f)       Belajar Berbasis Kerja (Work Based Learning)
Work based learning diterapkan dalam TVET untuk memenuhi kebutuhan ketuntasan belajar sesuai standar industri. Belajar berbasis kerja dapat dilakukan di sekolah atau di industri. Pendidikan kejuruan dikatakan efektif bila menghasilkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Adanya industri berbasis pengetahuan mengandung konsekuensi berubahnya konsep pembelajaran berbasis kerja (Putu Sudira).
Work based learning harus mampu menghasilkan pekerja yang kompeten dan cakap dalam menghadapi perubahan yang cepat serta memiliki karakter kerja (soft skill) sesuai tuntutan industri. Perubahan teknologi yang cepat di dunia industri menuntut pekerja yang memiliki kecakapan skill motorik, knowledge, dan character.
         g)      Belajar di Tempat Kerja (Workplace Learning)
Setiap pemecahan masalah membutuhkan proses analisis sintesis masalah sampai pada pengambilan keputusan yang efektif dan efisien. Belajar memecahkan masalah dalam kehidupan kerja dan berlangsungdi tempat kerja merupakan pembelajaran TVET abad 21 (Putu Sudira, 2016: 196).
Pembelajaran di tempat kerja membantu siswa untuk: 1) menguji coba pilihan pekerjaan dan karir mereka, 2) menyelesaikan tugas yang diberikan dalam mata pelajaran yang bersangkutan di lingkungan industri yang relevan, 3) mengetahui apa yang diinginkan oleh pemberi pekerjaan dari para pekerja mereka, 4) membangun keahlian bekerja umum seperti komunikasi di tempat kerja, kemandirian dan kerja sama tim, 5) mengembangkan keahlian khusus untuk bidang kerja yang mereka inginkan, 6) mendapatkan kepercayaan diri dan kedewasaan melalui partisipasi dalam lingkungan kerja orang dewasa, 7) membuat keputusan berdasarkan informasi yang benar ketika merencanakan pilihan yang akan mereka ambil dalam transisi mereka selama di sekolah dan menuju pendidikan lebih lanjut, pelatihan dan pekerjaan.
Ada 3 asumsi John Thompson (1973) yang disampaikan dalam bukunya yang berjudul “Foundations of Vocational Education” yaitu:
a.   Pendidikan vokasi bisa dikatakan efisien secara ekonomi apabila mampu mempersiapkan para siswanya untuk suatu pekerjaan spesifik dalam masyarakat yang didasarkan pada kebutuhan tenaga kerja yang riil.
b.  Pendidikan vokasi bisa dikatakan efisien secara ekonomi apabila mampu menjamin adanya pasokan tenaga kerja untuk suatu wilayah.
c.  Pendidikan vokasi bisa dikatakan efisien secara ekonomi apabila para lulusannya mendapatkan pekerjaan sesuai apa yang dilatih.

3)      Teori Belajar Humanisme
Dalam teori humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Pendekatan ini melihat kejadian yaitu bagaimana dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya menfokuskan pengajarannya pada pembangunan kemampuan yang positif. Kemampuan positif tersebuterat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif. Emosi merupakan karateristik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran humanisme.
Dalam teori pembelajaran humanistik, belajar merupakan proses yang dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia. Dimana memanusiakan manusia di sini berarti mempunyai tujuan untuk mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar secara optimal.
a.       Ciri-ciri Teori Humanisme
Pendekatan humanisme dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri yang ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat. Ketrampilan atau kemampuan membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik.
Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika siswa memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Ada salah satu ide penting dalam teori belajar humanisme yaitu siswa harusmampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga siswa mengetahui apa yang dipelajarinya serta tahu seberapa besar siswa tersebut dapat memahaminya. Dan juga siswa dapat mengetahui mana, kapan, dan bagaimana mereka akan belajar. Dengan demikian maka siswa diharapkan mendapat manfaat dan kegunaan dari hasil belajar bagi dirinya sendiri. Aliran humanisme memandang belajar sebagai sebuah proses yang terjadi dalam individu yang meliputi bagian/domain yang ada yaitu dapat meliputi domain kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Dengan kata lain, pendekatan humanisme menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap siswa. Untuk itu, metode pembelajaran humanistik mengarah pada upaya untuk mengasah nilai-nilai kemanusiaan siswa. Sehingga para pendidik/guru diharapkan dalam pembelajaran lebih menekankan nilai-nilai kerjasama, saling membantu, dan menguntungkan, kejujuran dan kreativitas untuk diaplikasikan dalam proses pembelajaran sehingga menghasilkan suatu proses pembelajaran yang diharapkan sesuai dengan tujuan dan hasil belajar yang dicapai siswa.

     b.      Tokoh Humanisme
Ada beberapa pendapat para ahli mengenai teori belajar huamanisme yaitu diantaranya :
1)      Arthur Combs (1912-1999)
Arthur Combs bersama dengan Donald Syngg menyatakan bahwa belajar terjadi apabila mempunyai arti bagi individu tersebut. Artinya bahwa dalam kegiatan pembelajaran guru tidak boleh memaksakan materi yang tidak disukai oleh siswa. Sehingga siswa belajar sesuai dengan apa yang diinginkan tanpa adanya paksaan sedikit pun. Sebenarnya hal tersebut terjadi tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesautu yang tidak akan memberikan kepuasan bagi dirinya.
Sehingga guru harus lebih memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa diri siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.
2)      Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal : suatu usaha yang positif untuk berkembang; kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri.
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi.
         3)      Carl Roger
Seorang psikolog humanism yang menekankan perlunya sikap salaing menghargai dan tanpa prasangka dalam membantu individu mengatasi masalah-masalahkehidupannya. Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran.
Ada beberapa Asumsi dasar teori Rogers adalah:Kecenderungan formatif; Segala hal di dunia baik organik maupun non-organik tersusun dari hal-hal yang lebih kecil; Kecenderungan aktualisasi; Kecenderungan setiap makhluk hidup untuk bergerak menuju ke kesempurnaan atau pemenuhan potensial dirinya. Tiap individual mempunyai kekuatan yang kreatif untuk menyelesaikan masalahnya.

Aplikasi Teori Humanistik Terhadap Pembelajaran Siswa
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Pembelajaran berdasarkan teori humanisme ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau  melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.
     
Sumber Tulisan :
http://www.kompasiana.com/akmala-04/teori-belajar-humanisme_5508e7368133118c1cb1e1fd

1 komentar:

  1. model pembelajaran apakah yang cocok untuk digunakan pada pendidikan kejuruan?

    BalasHapus